Ini adalah tahun yang singkat. Rasa-rasanya, baru kemarin menyaksikan aneka perayaan tahun baru, tiba-tiba tahun sudah akan berganti lagi. Sebagian besar resolusi, akan dicanangkan kembali sebagai resolusi.
Ini juga tahun yang buru-buru. Rasa-rasanya, daftar kegiatan harian selalu padat. Tetapi, dasar aku, berleha-leha masih saja sempat. Jadilah beban bertumpuk dan semakin lama semakin berat. Akhirnya, daftar kegiatan harian jadi bertambah padat.
Di antara lingkaran setan itu …
Di sela kepadatan aktivitas itu …
Di tengah dunia yang bergerak begitu cepat …
Bersama ‘perasaan tertinggal’ yang betah berumah dalam hati dan pikiran …
Aku sering curi-curi waktu untuk menyendiri. Mempertanyakan aneka persoalan. Mengandaikan satu-dua hal terkait keseharian. Merumuskan simpulan-simpulan.
Biasanya, sambil berlari. Pagi-pagi sekali sebelum terbit mentari, hingga bermunculan para pedagang keliling yang menjajakan sayur, bacang, atau roti.
Usai berlari, aku punya kebiasaan duduk di teras musala, mengeluarkan ponsel dari kantong celana, lalu menuliskan renungan—kadang sekadar keresahan atau apa saja yang terlintas di kepala— dalam bentuk tulisan-tulisan singkat. Sebagian sudah pernah dibagikan di instagram dan tumblr, sebagian tersimpan rapat-rapat. Rupanya, setelah dilihat-lihat kembali, hampir seluruhnya adalah renungan-renungan tentang hidup, cinta, dan kesendirian.
Atas izin Allah, di penghujung tahun ini, aku memutuskan untuk menghimpun serpihan-serpihan renungan itu, dan menerbitkannya dalam bentuk buku. Berjudul ‘Jangan Dulu Patah’, ini jadi buku ke-11 yang aku tulis dan terbitkan, sekaligus Antologi Prosa kedua setelah Ja(t)uh (2013).
Semoga, bisa menjadi semacam cermin untuk wawas diri. Atau, sekadar teman di kala sunyi.