Saya membuat blog, dan atas nama kelabilan yang sedang saya alami ketika itu saya berpindah-pindah alamat hingga akhirnya saya menemukan nama dan penyedia yang sreg di hati: azharologia.wordpress.com (yang sejak peluncuran buku pertama dipersingkat jadi azharologia.com). Saya mengisi blog saya dengan apa saja, tapi diusahakan serutin mungkin. Saya mengamalkan apa yang disampaikan oleh Dee dalam salah satu wawancara tentang kepenulisan: ‘mulailah dari apa yang kita tahu, kita lihat, kita rasa’. Sampai hari ini kalimat itu menjadi semacam mantra ketika saya kehabisen ide untuk menulis.
Bukankah kita selalu punya pengalaman dan perasaan? Setidaknya dari dua hal itulah kita bisa mulai menulis.
Saya juga beberapa kali mengikuti perlombaan menulis, dan dari sekian perlombaan itu hanya satu yang bisa saya menangkan: Lomba Menulis Surat untuk Dewi Lestari yang diadakan oleh Mizan. Hadiahnya? Paket buku Dewi Lestari. Bukan main betapa senangnya saya waktu itu. Dari berbagai perlombaan itu saya belajar bahwa begitu terasa perbedaannya, tulisan yang kita tulis karena kita harus menulisnya dengan tulisan yang kita tulis karena kita memang ingin menulisnya. Bahwa apa yang dari hati memang akan sampai ke hati.
Tak terasa, dari saya mulai menulis di blog tahun 2011 sampai tahun 2013 sudah banyak juga tulisan yang terkumpul. Sebagian puisi, beberapa tulisan tentang isu sosial-politik, dan sebagian besar adalah tulisan yang tak jelas bentuknya, maka saya sebut prosa saja. Tulisan bebas. Seiring semakin banyaknya tulisan, semakin banyak juga rupanya pengunjung blog. Sempat pada suatu hari setelah saya mem-posting sebuah tulisan, tulisan tersebut mencapai lebih dari 2000 views dalam satu hari. Tentu saya terkejut, dan tertarik untuk mempelajari bagaimana hal itu bisa terjadi. Mengapa ada tulisan yang hanya sedikit sekali dilihat, tapi ada yang jumlah pembacanya mengejutkan. Saya kemudian menemukan sedikit jawabannya dalam buku ‘Tipping Point’ karya Malcom Gladwell. Buku Malcom Gladwell inilah yang kemudian membuat saya tertarik dalam dunia marketing—semoga saya sempat membahas ini lebih lanjut dalam tulisan yang lain.
Di tahun 2013, atas desakan beberapa pembaca setia di blog, dorongan dari beberapa sahabat, dan rasa penasaran saya, saya memutuskan untuk mengumpulkan tulisan saya di blog dan menerbitkannya sebagai sebuah buku. Saya mulai mencari tahu bagaimana cara menerbitkan buku, mulai dari bekerja sama dengan penerbit sampai self-publishing. Dari hasil pengumpulan berbagai informasi tentang penerbitan, saya memutuskan untuk self-publishing. Saya pun menyampaikan ide ini kepada beberapa sahabat SMA saya yang berada di Depok dan Bandung dan mereka mendukung penuh, siap membantu.
………………
berlanjut ke Menulis sebagai Cita-cita? (bagian 4)
Kenapa ga coba untuk menembus penerbit mayor mas? Kayaknya bakal laku keras juga deh 🙂
Sudah pernah ditawari penerbit mayor, tapi tidak deal. Saya memilih untuk self-publishing. 🙂
Menginspirasi sekaligus melecut diri Saya sendiri juga nih Mas Azhar. 🙂
Semoga bermanfaat Mas Koi. 🙂
Boleh diskusi Kak? Saya juga pingin terbitin buku tapi galau mau masukin penerbit mayor atau selfpublishing gitu.. beda nya apa nggak ngeh Kak.. haha
Bedanya.
Penerbit Mayor: naskah kita harus di-approve, disesuaikan keinginan penerbit, tapi penerbitan dan distribusi diurus sama penerbit.
Selfpublishing: urus semua sendiri.
Ya sy lumayan ngeh kalo itu nya. Tp apa yg melemahkan penerbit mayor shgga kakak milih selfpubls? Bukankah tinggal setor naskah trus udah (kalo mayor)?